Selasa, Agustus 26, 2008

Cul De Sac Kesabaran

Berdemokrasi memang menuntut kesabaran, tetapi entah kenapa kita dulu berharap besar terjadinya percepatan. Reformasi yang diawali dengan munculnya anarki, lalu melahirkan preman-preman politik dan kemudian ratusan partai, harapan segera lahirnya kesejahteraanpun dititipkan pada partai. Namun harapan tersebut nampaknya harus kita tunda. Kesabaran yang lebih panjang ternyata harus dimiliki oleh siapa saja yang sudah telanjur mengharapkan banyak perubahan menuju kemandirian dan kesejahteraan akan di wujudkan oleh partai.

Masalahnya tinggal, tingkat kesabaran sesesorang dengan yang lainnya tidaklah sama. Ada yang masih sabar ketika banyak elit partai, yang partainya dibangun dengan keringat dan air mata kader-kader dibawahnya, bermewah-mewah. Mobil mewah teranyar, rumah mewah termegah, pola hidup yang berubah mendadak -- sesaat setelah menjadi wakil rakyat--, hingga istri teranyar yang produk import beserta gaya hidup impor-nya.

Lalu kita harus bersabar ketika partai kita misalnya terpaksa mendukung kenaikan BBM pada 2005. Sebagai konsekuensi koalisi. Dan berhasil memiskinkan rakyat dan sejak itu timbullah busung lapar yang dimana-mana.

Ada juga yang tetap sabar ketika misalnya partainya berubah menjadi oportunis dengan mencalonkan gubernur hanya dengan pertimbangan dari duitnya. Dan tetap harus sabar ketika mendukung calon gubernur bermasalah, lagi-lagi dengan konsideran yang susah untuk dipahami. “Itu hanya black campaign, ybs kan belum terbukti bersalah secara hukum”.

Lalu ada juga yang masih tetap sabar bahkan tak peduli ketika misalnya partainya menolak dengan BERANI, usulan hak angket BLBI. Padahal BLBI ini adalah mega skandal terbesar sepanjang masa yang merugikan negara.

Sabar dan Tsiqoh, itulah yang harus kita tanamkan pada diri masing-masing. Utamakan amal nyata daripada bicara. Tentu pemimpin-pemimpin kita punya alasan tertentu mengapa mereka berbuat seperti itu. Mereka adalah para masyaikh yang sudah teruji dilapangan. Begitu kira-kira argumentasinya kalau kita mempertanyakan konsideran dari kebijakan partai politik.

Lalu kalau ternyata kemudian terbukti keputusan yang diambil salah. Atau perilaku pemimpin salah. Maka ada jurus argumentasi baru yang akan dilemparkan dengan PE-DE-nya. “Pemimpin kita itu juga manusia akhi, mereka bukan malaikat, mereka bisa berbuat salah, oleh karena itu kita harus memahami dan memaklumi mereka.” Wah enak sekali ya jadi pimpinan ? “Bukan spt itu akhi, pemimpin itu berat tanggung jawabnya, mereka juga memikirkan kita setiap hari, mereka pusing dan harus kita apresiasi. Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Kerja kita hanyalah mengeluh dan mengeluh akan kondisi kita.”

Ok deh. Kita memang harus sabar kali. Karena setiap ada aspirasi, memang harus tersumbat dan mental kembali. Tapi ngomong-ngomong, memang benar ya pemimpin semenderita itu ? Kabarnya begitu. Saking menderitanya konon ada yang menghilangkan penderitaan itu dengan membangun rumahnya seperti istana berhektar-hektar. “Itu sih bukan rumah, pesanggrahan (istana)”, kata seorang teman. Atau menghibur diri dengan istri import, atau pola hidup OKB.

Lalu kesabaran kembali diuji, ketika aturan-aturan yang telah ada ditabrak dengan seenak hati. Orang baik-baik mulai tersingkir. Dan keteladanan mulai hilang. Kesabaran dan keikhlasan kita harus diuji kembali ketika para kader dibawah begitu ikhlasnya berjuang, sementara para petinggi, sibuk dengan istri-istrinya (bahkan ada istri importnya yang disimpan di negeri tetangga), yang lainnya sibuk melanggengkan kekuasaannya, atau sibuk dengan urusan pencalonannya sebagai gubernur, bupati, walikkota, dan anggota dewan 2009 mendatang.

“Payah akhi, masak caleg 2009 di wilayah kita tidak ada orang (kader?) dari daerah kita”, gerutu teman suatu hari. “Mana yang dicalonkan orang bermasalah. Kader-kader gelisah, ada aturan dua kali periode pun tidak digubris selama setoran lancar”. Oh, mungkin itu salah satu ujian kesabaran dan keikhlasan serta ke tsiqohan dari para pemimpin kita. Kita harus tetap ikhlas, sabar dan tsiqoh.

Bagaimana dengan perkataan seorang masyaikh, para pendakwah harus kembali kepada akarnya, jangan sampai mereka dibenci gara-gara berorientasi pada kekuasaan ?

Masyarakat telah kadung menaruh banyak harapan pada kita. Sementara kita tak kuasa membendung hasrat berkuasa. Yang kadang membuat tak mampu melihat kelemahan-kelemahan kita sendiri. Kita sekarang lupa pada tujuan semula. Lalu kita kehilangan jatidiri kita. Kita menjadi sama dengan orang-orang lain, yang lapar kekuasaan, lapar uang, dll. Kita lupa memperjuangkan tujuan dakwah awal, dan terjebak pada mengejar kekuasaan semata. Padahal banyak masalah dan beban baru yang akan muncul nanti begitu kita memegang kekuasaan. Padahal jika saja kita mau berkaca, akan ada banyak hal yang kita mungkin belum mampu untuk menyeimbangkan antara kekuasaan, dakwah, kemajuan atau kompetensi ummat dengan hantaman dari luar yang akan datang, dll hal yang terlalu banyak dan panjang untuk diungkapkan dalam sebuah artikel curhat ini.

Kita sadar sepenuhnya bahwa dakwah di era demokrasi memang harus melalui tahapan-tahapan yang kurang menyenangkan. Para ahli masalah SABAR, sering mengatakan pada kita, bahwa Amerikapun perlu waktu puluhan tahun untuk bisa menjadikan demokrasi yang dewasa. Lho kok ukurannya Amerika ? Para ahli SABAR juga sering mengatakan pada kita untuk berkaca pada perjuangan generasi terdahulu, kita sekarang belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan mereka.

Saya ingin menyampaikan kepada para Ahli SABAR ini. Berhentilah membanding-bandingkan kondisi kita saat ini dengan generasi terdahulu. Karena kami (orang-orang yang tidak sabar) tahu betul bahwa generasi terdahulu adalah generasi yang tidak goyah olah godaan dunia, tidak miring akidahnya ketika bersinggungan dengan kekuataan kapitalis yahudi Madinah, dan tidak menukar syariat untuk tujuan-tujuan kekuasaan. Zaman memang sudah berubah, dan berubahnya sangat cepat. Kalau percepatan perubahan masyarakat itu tidak diperhitungkan, bisa-bisa terjadi perubahan tak terduga yang terjadi. Membandingkan dengan masa lalu hanya akan membuat diri kita lucu dihadapan cermin kita sendiri. Kecepatan pengaruh dakwah generasi terdahulu bahkan lebih cepat daripada pengaruh dakwah kita saat ini. Kala itukan belum ada koran, belum ada radio, televisi, internet. Bukankah semua itu mestinya menjadi sarana yang bisa mempercepat banyak hal ?

Para pemimpin kita mestinya tahu menakar kesabaran, ketsiqohan dan keikhlasan dari para bawahannya. Karena kita tidak diminta oleh agama ini untuk ikhlas di perdaya oleh orang lain. Kita juga tidak diminta untuk tsiqoh pada sistem yang mandul. Dan kita tidak diminta sabar pada orang-orang yang tidak amanah.

Ketika hal tersebut diabaikan, maka kita para rakyat jelata ini berada pada ambang batas kesabaran. Kita berada pada jalan buntu kepercayaan. Cul de sac.

Tidak ada komentar:

Edited by : Abasir abasyir.blogspot.com