Rabu, Juli 23, 2008

Antara Game Komputer dan Kehidupan

Seandainya semuanya tampak seperti permainan di komputer, tentu kita tak akan hidup serumit ini.


Ya. Apakah anda pernah memainkan sebuah game di komputer ? Saya tak sering, hanya kadang-kadang saja, jika sedang sangat jenuh, atau jika sedang menjajal kemampuan komputer baru, kadang saya memainkan game pc terbaru.



Ketika kita sedang bermain game, semua masalah terlihat sangat jelas bagi kita. Apa tujuan permainan tersebut, apa misi kita (objective), apa saja yang harus kita hindari, apakah ini trik musuh, jebakan yang akan membawa kita pada kekalahan, atau sebaliknya. Bahkan kita bisa melihat diri kita sendiri sedang berjalan, sedang mengendarai mobil misalnya, dan kita langsung tahu apa akibat dari pilihan (pekerjaan) yang kita lakukan.

Kebaikan dalam dunia game sangat jelas, kita hanya perlu fokus dan berfikir sebentar dan kemudian menentukan langkah yang terbaik untuk permainan kita dari pilihan-pilihan yang tersedia. Biasanya jika pilihan terbaik yang kita pilih maka akan menghantarkan kita pada prestasi permainan yang tertinggi.


Itulah dunia game komputer. Semua serba hitam-putih, sangat jelas, sangat gamblang.


Sekarang coba kita lihat dunia kita sehari-hari. Sebenarnya sejak kita bangun tidur, bahkan sebelum bangun tidur kita telah di hadapkan pada pilihan-pilihan yang juga sangat jelas. Ada pilihan terbaik, ada pilihan yang agak baik, pilihan kurang baik, pilihan tidak baik, dan mungkin pilihan yang menghancurkan.


Ada pilihan bahwa kita harus bangun tidur sebelum azan subuh, tetapi kita juga bisa memilih baru bangun ketika azan subuh, atau setelah azan subuh, jam 6 pagi nanti, toh masih sempat untuk mandi dan siap-siap sebentar sebelum memulai aktifitas.


Nah ternyata pilihan-pilihan kitalah yang menentukan akan menjadi seperti apa kita kelak dimasa depan. Jika yang kita lakukan adalah selalu pilihan terbaik dari setiap alternatif yang ada dalam hidup kita. Niscaya kita akan menjadi orang yang Besar. Tetapi jika pilihan kita biasa-biasa saja maka kita akan menjadi orang biasa. Dan jika pilihan kita adalah pilihan yang merugikan bagi hidup kita, maka kehidupan kita bagaikan neraka dunia. Kita terjebak didalamnya, terperangkap, dan semakin kita mengeluarkan tenaga untuk bergerak, semakin dalam kita terjerumus dalam kehidupan dunia yang melelahkan ini.


Begitulah, tetapi, tidak semua orang mampu untuk melihat alternatif atau pilihan-pilihan tersebut. Wawasan dan kebijaksanaannya lah yang akan mampu melihat selalu ada alternatif-alternatif tersebut. Dan kadang, maaf bahkan seringkali, alternatif atau pilihan terbaik baru akan terlihat jika kita sering akrab dengan diri kita sendiri.

Keakraban itulah yang membuat kita bertanya pada diri sendiri, sudahkan aku manfaatkan waktuku sebaik mungkin ? Sudahkan satuan waktu dari hidupku ini menghasilkan prestasi (permainan) yang terbaik ?

Apakah yang selama ini menghambat prestasi ku ? Apakah sebenarnya yang selama ini menjadi penyebab kegagalanku ?


Tetapi masalah lainnya selain itu tidak semua orang yang melihat alternatif atau puilihan terbaik itu mampu mengerjakan pilihan terbaik tersebut. Dalam kasus bangun subuh, orang bisa saja tahu persis bahwa jika ia bangun jauh sebelum subuh, maka kehidupannya hari itu akan lebih baik, ia mendapat prestasi tinggi (begitu istilahnya jika dalam permainan komputer), tetapi sangat sulit meneguhkan hati dan jiwa kita untuk mengerjakan pilihan-pilihan tersebut. Itulah mungkin Allah SWT memotivasi kita untuk selalu giat menghamba padaNya, melalui ayat-ayat Qur’an, salah satunya :


Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS Al Hadid : 20)

Sabtu, Juli 05, 2008

Konsep Politik Islam

Tulisan ini adalah makalah saya untuk kuliah Perkembangan Pemikiran Islam dengan dosen Prof. Dr. Dede Rosyada, MA dan telah di presentasikan.


PENDAHULUAN

Agama Islam adalah agama yang syaamil dan mutakaamil, yang lengkap menyeluruh dan sempurna, karena ia menyangkut landasan dalam berbagai macam kerangka kehidupan manusia, bahkan hubungannya dengan makhluk lainnya. Islam adalah satu-satunya agama yang dinyatakan oleh Allah SWT sebagai agama yang sempurna dan diridhai oleh Allah (QS 5:3).

Akan tetapi syumuliyatul islam hanya akan berupa fikroh (produk pemikiran) jika ummatnya tidak berusaha melaksanakan penegakkan agama Islam (Iqoomatuddin). Iqoomatuddin hanya akan terwujud jika ummat ini dapat menyampaikan dakwah Islam secara bebas. Dakwah Islam itu sendiri adalah amar ma’ruf nahi munkar yaitu Menganjurkan atau mengajak kebaikan dan mencegah yang Munkar atau kejahatan (QS Ali Imran [3] : 104).

Jika kemungkaran tidak diberantas, maka kejahatan akan tersebar luas di muka bumi, kemaksiatan akan merajalela dan jumlah pembuat kerusakan semakin membengkak. Bahkan mereka berusaha menguasai orang-orang baik hingga cahaya kemuliaan akan padam. Pada saat inilah kemarahan Allah akan ditumpahkan kepada semua umat manusia. Allah berfirman :

Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS al Maaidah [5] : 78-79)

Oleh karena itu penegakkan agama dalam Islam juga berarti bahwa dakwah Islam harus memasuki semua sendi kehidupan. Baik itu akhlak, muamalah/ekonomi, pertahanan, maupun politik/kekuasaan. Islam sebagai agama akan tegak jika kekuasaan/politik mengadopsi nilai-nilai islam dan atau dikuasai oleh orang-orang yang komitmen menegakkan Islam. Penguasaan dibidang politik oleh politisi-politisi yang menegakkan Islam sebagai dienul syamil mutakamil, akan membuka bidang lainnya untuk menerapkan Islam. Oleh karena itu kekuasaan adalah menjadi target utama dakwah Islam.

Akan tetapi harus dipahami bahwa kekuasaan itu dalam filosofi dakwah ia masuk bab wasilah (sarana) bukan ghoyah (tujuan). Tidak diperbolehkan ummat Islam karena pentingnya kekuasaan bagi penegakkan Dienul Islam, kemudian menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari dakwah Islam. Karena hal ini akan membuat ummat akan terjebak dalam logika-logika kekuasaan yang cenderung menyesatkan, dan menghalalkan segala cara. Dan kemudian Islam sebagai agama hanya akan menjadi baju bagi aktifis-aktifis politik, ia akan dikenakan jika dibutuhkan dan ditanggalkan jika sudah tidak diperlukan.

Hal inilah yang diinginkan oleh kalangan sekuler, karena hal ini akan menjadikan mereka mempunyai hujjah bagi statement mereka bahwa, “Politik itu kotor, sedang agama itu adalah sesuatu yang suci.”, karena itu, “Harus ada pemisahan antara urusan agama dan Negara”. Sesungguhnya statement-statement sekuler tsb (yg berasal dari kondisi eropa saat dikuasai agama Nasrani) dapat dipatahkan dengan dalil sederhana tentang amar ma’ruf nahi mungkar. Tetapi yang melanggengkan statement sekuler tsb dikalangan ummat islam adalah perilaku politisi muslim yang memperlakukan islam layaknya pakaian yang bisa ditanggalkan dan dikenakan sesuka hati. Dan kemudian orientasi pada kekuasaanpun akan berubah dari orientasi wasilah (sarana) menjadi orentasi ghoyah (tujuan) ditangan orang-orang tersebut. Jika sudah begini, para ahli sufi / ahli ibadah yang anti politik akan terlihat lebih baik daripada aktifis-aktifis politik Islam.

Kemudian Politik menuju kekuasaan pada saat ini, selalu dikaitkan dengan sistem Demokrasi ala Barat yang dipaksakan pada banyak negara-negara Islam. Bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan dakwahnya, para aktifis Islam atau nilai-nilai islam harus mendapatkan dukungan dari suara terbanyak atau dari politisi yang mendapat suara rakyat, jika hal itu tidak terjadi maka dakwah tidak mendapat tempat pada kekuasaan/politik. Untuk itulah pada tulisan ini kami mencoba membahas Politik Islam dengan menyandarkan pada tulisan para ulama mengenai masalah ini.

AWAL PEMIKIRAN SEKULER DI DUNIA ISLAM

Buku pertama yang menjadi kebanggaan orang-orang sekuler, tentang masalah politik dan hukum kenegaraan dalam Islam adalah sebuah buku yang muncul setahun setelah runtuhnya khilafah Islam, 1925, yaitu buku Al-Islam wa Ushulul Hukmi (Islam dan Prinsip-prinsip Hukum) yang dikarang Ali Abdurrazzaq, seorang hakim bidang syariat, yang telah menimbulkan guncangan yang sangat hebat di tengah masyarakat Mesir dan masyarakat Islam secara ke­seluruhan. Buku ini adalah buku kecil, dan pengarangnya tidak pernah menulis buku yang lain. Tapi di dalam buku ini dia menge­luarkan pernyataan yang tidak pernah dikatakan siapa pun sepanjang sejarah Islam. Dia menyatakan, Islam adalah agama yang tidak memiliki daulah, negara. Islam adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak bermaksud mendirikan negara dan ini bukan termasuk bagian dari risalah beliau. Beliau hanyalah seorang rasul yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni, tidak dicampuri kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan men­dirikan negara, karena memang beliau tidak memiliki kekuasaan dan peme­rintahan. Beliau tidak bermaksud mendirikan kerajaan. Beliau bukan raja dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan kerajaan.

Maka kemudian muncul perdebatan yang sengit tentang buku ini, pe­ngarangnya dihujat, dan tak seberapa lama setelah itu muncul beberapa buku lain yang menyanggah isinya, di antaranya karangan Al­ Allamah Syaikh Muhammad Buhait Al-Muthi'y, seorang mufti Mesir pada masa itu, dengan judul Haqiqatul-Islam wa Ushulul-Hukmi (Hakikat Islam dan Prinsip-prinsip Hukum, Kairo 1926). Begitu pula buku yang dikarang Al-Allamah Muhammad Al-Khadhr Husain, yang kemudian menjadi Syaikh Al-Azhar, dengan judul Naqdhu Kitab Al-Islam wa Ushulul-Hukmi (Invalidasi Buku Islam dan Prinsip-prinsip Hukum). Syaikh Muhammad Ath-Thahir bin Asyur, seorang ulama Tunisia juga tidak ketinggalan menyanggahnya.

Tidak cukup dengan sanggahan sebatas visual dan dialog lewat kata-kata, juga dilanjuti dengan dise­lenggarakan pertemuan yang dihadiri para ulama Al-Azhar secara formal, yang dipimpin langsung oleh Syaikh Al-Azhar beserta dua puluh empat anggota tetap, untuk menjatuhkan vonis terhadap Syaikh Ali Abdurrazzaq dan bukunya (Agustus 1925). Maka dibuat satu keputusan bulat bah­wa buku tersebut telah memuat berbagai masalah yang jelas bertentangan dengan Islam. Pengarangnya dianggap sama sekali tidak layak. Per­temuan ini juga memutuskan, bahwa pengarangnya dikeluarkan dari per­kumpulan ulama, namanya dihapuskan dari daftar Perguruan Tinggi Al Azhar dan lembaga pendidikan manapun, dipecat dari pekerjaannya, dicabut kepakarannya, hingga dia tidak boleh memegang jabatan apapun, baik di bidang agama maupun selain agama.

Tetapi bagi sebagian orang yang memusuhi syariat Islam, buku ini justru menjadi pusat perhatian dan menganggapnya sebagai karya besar. Bahkan hingga saat ini tidak henti-hentinya mereka membicarakan buku ini dengan penuh kekaguman. Dan dalam banyak kajian-kajian tentang politik maupun pemikiran Islam, buku tersebut kerap menjadi salah satu referensi.

MASYARAKAT MADANI DAN CIVIL SOCIETY

Gambaran Masyarakat Madani banyak dirujukkan kepada kenyataan kehidupan masyarakat Islam paska hijrah sampai masa khulafaur­rasyidin, di kota Madinah, suatu masyarakat yang mandiri, merdeka, beribadah, berbudaya, berakhlaq, berfikiran terbuka, tunduk pada hukum yang berlaku dan mampu mengontrol mekanisme kekuasaan melalui tradisi syura.

Sedangkan Civil Society merupakan bentuk kehidupan sosial di mana masyarakat umum (publik) lah yang menjadi pemeran utama dalam kehidupan negara dan hukum.

Ibnu Rusyid percaya bahwa melalui proses induktif dan sosial obyektif, bebas, berbudaya dan merdeka, kehidupan masyarakat akan sampai pada suatu tahap dimana formula kebenaran dan kebaikan

DEFINISI POLITIK

Menurut Prof. Selo Sumarjan, Ilmu politik merupakan salah satu dari ilmu-ilmu sosial, sejajar dengan ilmu antropologi, administrasi negara, komunikasi dan sebagainya. Tiap-tiap ilmu sosial mempelajari secara rasional dan sistematis salah satu aspek khusus dari kehidupan masyarakat, suatu kehidupan sosial dalam arti luas. Adapun Ilmu Politik secara khusus menyelenggarakan kajian (study) tentang kekuatan-kekuatan sosial yang dimiliki masyarakat dan cara menggunakannya (atau menyalahgunakannya) untuk mencapai tujuan tertentu.

Kata 'politics', yang berasal Bari kata Yunani 'polis', berarti kota, dan dibatasi pada kajian tentang negara, mempunyai makna yang beragam. Ada orang yang mempermasalahkan kebijakan mendefinisikan politik, dengan menegaskan bahwa definisinya secara kontekstual terbatas. Mereka mendukung pandangan bahwa politik adalah apa yang dikata­kan oleh ilmuan politik tentang politik itu sendiri, yang diringkas dengan baik dalam komentar Bernard Crick, yang telah usang, bahwa 'politik adalah Politik.

Plato dan Aristoteles memandang politik terutama dalam tujuan-tujuan moral yang dicari oleh para pembuat keputusan. Polis, bagi keduanya, ada untuk mencari kebaikan umumnya, kebaik­an warga dan kesempurnaan moral. Aristoteles melihat 'kebaikan tertinggi' sebagai 'tujuan yang dicari oleh ilmu politik’.

Robert A. Dahl menilai definisi Aristoteles mengenai politik sangat terbatas, karena ia mengaitkannya dengan organisasi-negara. Karena itu, ia menformulasikannya kembali dengan melihat 'pola-­pola hubungan manusia yang terus-menerus melibatkan, pada tingkat tertentu, kekuasaan, undang-undang atau otoritas. Dahl mengkritik gagasan Aristoteles yang ideal tentang memadainya negara dalam mencari kehidupan yang baik.

Politik yang Bahasa Arabnya as-siyasah (سة السيا) merupakan mashdar dari kata sasa yasusu ( سا س يسو س ), yang pelakunya sa'is (سا ئس ). Ini merupakan kosa kata-Bahasa Arab asli. Tapi yang aneh, ada yang mengata­kan bahwa kata ini diadopsi dari selain Bahasa Arab. Orang betawi dahulu, menyebut kusir yang mengendalikan kuda pada sado (delman), untuk mencapai tujuan, sebagai sa’is (سا ئس ).

Kami menukil penggalan yang disebutkan dalam Lisanul-Arab karangan ibnu Manzhur, yang berkata tentang kosa kata sawasa (سو س) sebagai berikut, "As-sus (ا لسوس) berarti kepemimpinan. Maka bisa dikatakan, Sasuhum susan(سا سو هم سو ساً ). Jika mereka mengangkat seseorang menjadi Pemimpin maka bisa dikatakan ) سو هُ وَ أ سا سو هُ و سا س الأ مر سيا سة ًُ سو) yang artinya: Seseorang mengatur urusan politik. Seseorang yang mengatur atau memim­pin suatu kaum bisa disebut sasah wa sawwas ( اس سا سة و سو).

ISLAM POLITIS

Belakangan ini berkembang beberapa istilah dalam tulisan para sekuler dan westernis, dari haluan kiri maupun kanan, atau orang-orang yang mengikuti pola pemikiran Marxis di Timur dan pola pemikiran liberal di Barat. Di antara istilah ini adalah istilah "Islam politis" . Yang mereka maksudkan dengan istilah ini ialah Islam yang memperhatikan urusan umat Islam dan hubungan-hubungan yang dijalinnya, di dalam atau di luar negeri, upaya membebaskannya dari campur tangan kekuasaan luar, menghadapi segala urusan material dan moral, membebaskannya dari penyusupan imperialis Barat dalam masalah peradaban, sosial dan hukum, agar dapat kembali ke penerapan syariat Allah dalam berbagai sektor kehidupan.

Penggunaan istilah ini menurut pandangan Islam tidak bisa diterima. Karena ini merupakan upaya yang sengaja dilakukan musuh­-musuh Islam, untuk memilah-milah Islam menjadi beberapa bagian yang saling berbeda, bukan merupakan Islam yang satu sebagaimana yang diturunkan Allah. Tapi itu merupakan "Islam-Islam" yang beragam, seperti yang dihendaki musuh-musuh itu.

Pembagian-pembagian ini masih ditambahi lagi dengan pembagian Baru lainnya, seperti Islam revolusioner, Islam reaksioner, Islam radikal, Islam klasik, Islam fundamentalis, Islam Puritanis, Islam kiri, Islam kanan, Islam eksklusif (tertutup), Islam inklusif (terbuka) dan lain-lainnya.

Tidak tahu pembagian apa lagi yang akan mereka ciptakan di kemudian hari? Yang pasti, semua pembagian ini tidak bisa diteri­ma menurut sudut pandang orang Muslim, karena di sana tidak ada kecuali Islam yang satu, yang tiada sekutu baginya dan tidak ada penga­kuan terhadap nama selain itu. Inilah Islam Al-Qur'an dan Sun­nah, Islam sebagaimana yang dipahami sebaik-baik generasi umat dan sebaik-baik kurunnya, dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, generasi yang dipuji Allah dan Rasul­Nya.

POLITIK DI DALAM ISLAM

Gambaran pejoratif politik yang dihasilkan dari konseptualisasi Barat tidak mempunyai relevansi dengan politik yang dikonseptualisasikan dalam Islam. Namun, jika esensi politik disadari sebagai usaha bagi 'kehidupan yang baik', suatu kehidupan yang dilakukan untuk menyembah dan mencari ridha Allah SWT semata, politik sangat penting bagi Islam.

Empat dan lima rukun Islam, yakni shalat, puasa, zakat dan haji, 'benar-benar sesuai untuk mengembangkan rasa kesatuan dan tanggung jawab (esprit de corps) dan solidaritas kelompok di kalangan para pengikutnya'. Rukun Islam ini tidak dimaksudkan untuk peningkatan spiritual semata, tetapi juga mem­punyai signifikansi sosio-ekonomi dan politik. Rukun Islam berkaitan erat dengan tindakan dan aktivitas manusia. Sehingga, dalam shalat yang diwajibkan atas orang-orang yang beriman untuk dilakukan pada waktu-waktu yang ditentukan (Al-Qur’an, 4:103), dianjurkan dengan berjamaah, seorang yang beriman dapat melaksanakan berbagai kegiatan dengan mengkombinasikan refleksi rasional, dorongan emosional dan gerakan-gerakan fisik. Orang-orang yang beriman berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan yang lain, memilih salah seorang dari (imam) untuk memimpin shalat dan mengikuti perbuatannya, pertama-tama mengagungkan Tuhan, dan berdo'a me­minta kepada-Nya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 'Pimpin­lah kami ke jalan yang lurus'. Orang-orang yang beriman taat kepada imam dan menunjukkan kesalahannya dalam perbuatan-perbuatan tertentu. Dengan demikian, shalat tak dapat dipisahkan dari prinsip­prinsip kehidupan yang baik: prinsip solidaritas dan kesamaan sosial, kepemimpinan dan ketaatan, tanggung jawab dan mau mendengar dan prinsip persaudaraan universal.

Politik juga penting bagi Islam, sekalipun didefinisikan, dalam pengertiannya yang sempit, sebagai seni memerintah. Desakan­-desakan al-Qur’an agar mengajak kepada kebaikan dan melarang keburukan, meninggikan keadilan dan nilai-nilai serta kriteria-­kriteria Ilahiah lain, kesemuanya mensyaratkan partisipasi semua anggota masyarakat dalam urusan-urusan pemerintahan berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Al-Qur'an mengecam anarki dan kekacauan (QS 2:205), dan Nabi saw telah menekankan pentingnya organisasi dan otoritas dalam masyarakat. Demikian juga 'Umar, khalifah kedua, menganggap suatu masyarakat yang ter­organisir tidak mungkin ada tanpa seorang, imam (yang memimpin), dan menambahkan bahwa tidak mungkin ada imam tanpa ketaatan.

Politik pun penting bagi Islam, bahkan ketika ia didefinisikan dalam perspektif riil sebagai suatu perjuangan bagi kekuasaan. Beriman kepada Allah SWT, dan menyatakan tauhid dengan tegas berarti mengajak menolak thaghut, yakni orang-orang yang meng­klaim hak dan kekuasaan absolut, padahal kekuasaan absolut itu hanya milik Allah SWT , dan dengan demikian, menghapus zhulm (penindasan dan ketidakadilan) dari muka bumi. Masyarakat Islam tauhidi yang diidamkan tidak mengenal persaingan dan kompromi. AI-Qur'an memerintahkan orang-orang yang beriman agar meng­hapus absolutisme setengah dewa atau ketuhanan-ketuhanan yang salah, membebaskannya dari peran-peran kepemimpinan, merebut kekuasaan untuk kebaikan, dan memerangi keburukan dengan kebaikan. Adalah berdasarkan penegasan al-Qur’an bahwa Nabi Muhammad saw keluar dari pengasingannya dan memerangi semua yang mengingkari petunjuknya.

Salah satu sasaran penting hijrahnya (berpindah ke Madinah) adalah untuk membangun otoritas politik sesuai dengan kehendak Tuhan. Begitu juga, semua nabi terdahulu dipesan agar menyampaikan petunjuk Tuhan, dan memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman agar menjauhkan din dari thaghut (Al-Qur’an, 16:36). Islam, dengan demikian, secara aktif berurusan dengan kekuasaan, suatu kekuasaan yang melaluinya dunia dapat diubah menjadi sesuai dengan ajaran dan prinsip-prinsip Islam bagi kemanusiaan yang baik. Jihad fi sabilillah tidak lain adalah usaha membangun tatanan Ilahi. Pentingnya mengamankan kekuasaan demi kebaikan juga merupakan hal yang fundamental, karena itu al-Qur’an menyebut jihad sebagai batu ujian bagi orang-orang yang beriman.

ISLAM TIDAK ADA ARTINYA TANPA POLITIK

Perlu kita nyatakan secara gamblang dan sejelas-jelasnya, bahwa Islam yang benar seperti yang disyariatkan Allah, tidak akan menjadi seperti itu kecuali jika ia berwawasan politik. Jika kita melepaskan Islam dari urusan politik, berarti kita menjadikannya agama lain, bisa gama Budha atau agama Nasrani atau lainnya.

ISLAM MENGARAHKAN SEMUA SISI KEHIDUPAN

Islam mempunyai sikap yang jelas dan hukum yang tegas dalam berbagai masalah yang dianggap sebagai tulang punggung dunia politik.

Islam bukan merupakan keyakinan para pemimpin agama atau slogan-slogan ibadah semata. Maksudnya, Islam bukan hanya sekedar hubungan antara manusia dengan Rabb-nya tanpa ada hubungan pengaturan kehidupan masyarakat dan daulah. Sama sekali tidak. Islam merupakan akidah, ibadah, akhlak dan syariat yang saling meleng­kapi. Dengan kata lain, Islam merupakan sistem yang sempurna bagi ke­hidupan, yang meletakkan prinsip-prinsip, memancangkan kaidah, membuat ketetapan-ketetapan hukum, menjelaskan tuntunan, yang berkaitan dengan kehidupan individu, cara menata rumah tangga, mengatur masyarakat, mendirikan daulah dan menjalin hubungan dengan seluruh dunia.

Siapa yang membaca Al-Qur'an, Sunnah yang suci, buku-buku fiqih Islam dengan berbagai madzhabnya, tentu akan mendapatkan hal ini sejelas-jelasnya.

Bahkan satu bagian dari ibadah yang notabenenya termasuk fiqih, berada tidak jauh dari politik. Orang-orang Muslim sepakat bahwa siapa yang meninggalkan shalat, tidak mau membayar zakat, terang-terangan makan pada bulan Ramadhan, meremehkan kewajiban haji, layak men­dapat sangsi hukuman. Bahkan dia harus diperangi jika terang-te­rangan membentuk satu kelompok, seperti yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu terhadap orang-orang yang menolak membayar zakat.

DEFINISI POLITIK MENURUT SYARIAT

Politik yang hendak dibicarakan di sini adalah politik yang berda­sarkan syariat, seperti yang pernah disinggung para ulama kita terdahulu maupun sekarang. Bahwa politik ini adalah politik yang di landaskan kepada kaidah-kaidah syariat, hukum dan tuntunan-tuntunannya. Sebab tidak semua politik berdasarkan syariat. Politik yang berbenturan dengan syariat dan banyak unsur politik yang tidak mempedulikan syariat, apakah syariat itu ridha atau tidak, menerima atau menolak. Di antaranya ada yang menjadikan filsafat dan permikiran-pemi­kiran lain sebagai landasan politiknya, ada yang mengacaukannya seperti yang dilakukan orang-orang sekuler, baik dari golongan kanan (Liberalis) maupun golongan kiri (Marxis). Di antara mereka ada yang Mengacu kepada tradisi yang diwarisi dari para pendahulunya, tanpa mau melihat, apakah hal itu sejalan dengan syariat atau ber­tentangan. Di antara mereka ada yang mengacu kepada ambisi dan kepentingan diri sendiri, agar kursi yang didudukinya tidak lepas, tanpa mempedulikan kemaslahatan rakyat, apa kehendak dan nilai-nilai yang berlaku di tengah ummat.

Yang demikian tidak bisa dianggap sebagai politik menurut perspektif syariat. Sebab politik menurut perspektif syariat ialah yang menjadikan syariat sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya, mengaplikasikannya di muka bumi, menancapkan ajaran-ajaran dan prinsip-­prinsipnya di tengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan sasarannya, sistem dan jalannya.

SYURA DAN NASIHAT

Islam menetapkan Syura sebagai salah satu sendi kehidupan Islam, dan mewajibkan seorang pemimpin untuk meminta pendapat atau bermu­syawarah dengan orang lain. Islam juga mewajibkan umat untuk memberi nasihat. Bahkan Islam menjadikan nasihat sebagai gambaran dari seluruh agama (Addinun Nasihat). Nasihat itu bagi para pemimpin kaum Muslimin.

Islam juga menjadikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai kewajiban yang sudah pasti, bahkan menganggap jihad yang paling utama adalah perkataan yang benar di hadapan tiran. Dengan kata lain, Islam menjadikan usaha meluruskan tirani dan kerusakan internal lebih baik di sisi Allah daripada menghadapi serangan dari luar. Sebab keadaan yang pertama seringkali menjadi pemicu datangnya serangan dari pihak luar.

Kultur Islam sendiri adalah dialogis, hal ini sebenarnya dicontoh oleh Allah SWT, ketika Ia menceritakan sendiri bahwah Beliau pernah dipertanyakan soal kebijakanNya oleh para malaikat. Ketika Allah SWT mengatakan “inni jaa’ilun fil ardhi khalifah”, para malaikat bukan hanya bertanya, tetapi mempertanyakan kebijakanNya. Dengan pertanyaannya itu Allah SWT tidak lantas tersinggung atau marah karena memang malaikat itu sifatnya seperti itu, jujur dan apa adanya. Allah menjawab dengan gayaNya, “inni a’lamau malaa ta’lamuun”. Tetapi jawaban ini khusus untuk Allah kepada makhluk, tidak berlaku untuk sesama manusia.

Karena Rasulullah SAW sendiri sering mengalami hal yang sama ketika sahabat-sahabat tidak sekali dua kali mengatakan “Ya Rasulullah, pendapat Anda ini wahyu atau hanya pendapat pribadi ?” Artinya para sahabat walaupun meyakini sekali prinsip sami’ na wa atho’na, tetapi tetap kritis setiap merasakan kejanggalan. Dan Rasulullah pun menjawab dengan egaliter sekali “Oh, yang ini pendapat saya pribadi”, bila hal tsb bukan wahyu.

Salah seorang sahabat yang sering bertanya itu adalah Umar bin Khattab. Bahkan Umar ra pernah menolak perintah ketika ditunjuk oleh Rasul sebagai duta dalam perjanjian Hudaibiyyah, tapi ia menolak dengan memberikan argumen bahwa Ustman RA lah yang sebenarnya lebih tepat untuk tugas tersebut. Sehingga akhirnya Rasul menerima pendapat beliau dan mengutus Ustman RA dalam perundingan tsb. Abbas ra juga pernah protes ditengah khotbah Rasulullah pada fathu Mekkah terkait dengan larangan menebang pohon, Abbas RA meminta pengecualian untuk pohon idkhir.

Oleh karena hal-hal tersebut diatas maka, para ulama yang lurus merumuskan bahwa salah satu prinsip penyimpangan dalam Islam adalah pengabaian prinsip Syuro. Dan mayoritas dari mereka menentang adanya budaya feodalisme dalam tubuh Ummat.


Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran [3] : 159)

Dalam ayat diatas sangat jelas sekali bahwa Rasulullah saja yang ma’shum, terpelihara dari dosa, tetap diperintahkan oleh Allah untuk berunding, syuro atau bermusyawarah dengan para sahabatnya. Karena itu, adalah penyimpangan yang sangat melemahkan ummat Islam jika pemimpinnya berlaku feodal dan mengabaikan prinsip syuro.

PEMIMPIN DALAM PANDANGAN ISLAM

Pemimpin dalam pandangan Islam merupakan wakil dari umat, atau lebih tepatnya pegawai umat (Sayyidul Qoumi Khoodimuhum). Di antara hak ummat yang mendasar, wakil bisa dicabut jabatannya jika memang dikehendaki, terutama jika orang yang mewakili mengabaikan berbagai kewajiban yang harus dilakukannya.

Pemimpin dalam Islam bukan penguasa yang terjaga dari kesalahan. Tapi dia adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar, bisa adil dan pilih kasih. Menjadi hak kaum Muslimin untuk meluruskan pemimpin yang berbuat salah dan meluruskan penyimpangannya.

Inilah yang dinyatakan para pemimpin kaum Muslimin yang terbesar setelah Rasulullah SAW, yaitu Al-Khulafa'ur­rasyidun yang mengikuti petunjuk. Kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah mereka dan menggigitnya kuat-kuat dengan gigi geraham. Karena sunnah mereka merupakan kepanjangan dari Sunnah Nabi.

Tetapi meskipun begitu, Khalifah pertama, Abu Bakar RA berkata dalam pidato pertama­nya (ternyata tidak lebih dari 5 menit), "Wahai semua manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik dari kalian. Jika kalian melihat aku berada di atas kebenaran, maka tolonglah aku, dan jika kalian melihat aku berada di atas kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatlah kepadaku selagi aku takut kepada Allah di tengah kalian, dan jika aku durhaka kepada-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk taat kepadaku". Inilah yang diajarkan oleh Khalifah Abu Bakar, sikap kritis terhadap pemimpin.

Khalifah yang kedua, Umar bin Al-Khaththab berkata, "Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan kekuranganku kepada­ku." Dia juga berkata, "Wahai sekalian manusia, barangsiapa diantara kalian melihat penyimpangan padaku, maka hendaklah dia meluruskan aku”. Maka muncul dari kerumunan orang banyak menimpali perkataan Umar, “Demi Allah wahai Ibnul Khattab, jika kami melihat penyimpangan pada dirimu, niscaya kami akan luruskan dengan pedang kami”. Umar RA juga pernah mengumpulkan masyarakat dan melarang mahar yang terlalu tinggi, karena masyarakat ketika itu umumnya terlambat menikah, karena tidak mampu membayar mas kawin (mahar) yang biasanya tinggi. Maka berdirilah seorang wanita dan menyatakan,”Kami para wanita tidak pernah menuntut laki-laki untuk memberikan mahar yang tinggi, tetapi bukankah Allah SWT telah berfirman untuk memberikan kepada kami (para wanita) mahar dari harta yang banyak (Wa ataitum ihdahunna Qinthoron = QS An Nisa [4] : 20), lalu mengapa engkau kini melarangnya ?”. Maka umarpun berkata, “Benar wanita itu dan salahlah Umar.”

FIQH POLITIK YANG MENCORENG ISLAM

Pada zaman sekarang fiqih politik banyak tercoreng oleh tipu muslihat, pengertian yang samar, hukum yang tidak pasti dan kerancuan dalam benak para praktisi Islam, yang kerancuan ini membuat jarak antara sebagian dengan yang lain, seperti jarak antara timur dan barat.

Misalnya ada orang yang menganggap syura sebagai simbol dan bukan keharusan. Ada yang memberi kewenangan kepada pemimpin daulah untuk mengumumkan perang dan mengukuhkan persetu­juan dengan pihak lain tanpa berembug dengan wakil umat di legislatif. Sementara ada yang berpendapat, menggunakan perangkat­-perangkat demokrasi dianggap sebagai kekufuran atau setidak-tidaknya merupakan jalan menuju kepada kekufuran.

Ada pula yang berpendapat, bahwa wanita tidak mempunyai tempat dalam mengatur umat. Tempatnya adalah di rumah, tidak boleh keluar dari rumah kecuali ke kuburan. Wanita tidak mempunyai hak suara dan kesaksian dalam pemilihan umum, terlebih lagi mencalonkan dirinya dalam lembaga atau dewan tertentu. Yang berpendapat seperti ini men­vonis separoh umat dengan vonis kematian adab. Dia menghendaki agar umat bernapas dengan satu paru-paru dan terbang dengan satu sayap. Contohnya dalam hal ini adalah gerakan Taliban di Afghanistan tatkala menguasai ibukota Kabul. Mereka melarang para wanita bekerja. Padahal mereka ada puluhan ribu jumlahnya yang terdiri dari pada janda, yang harus bertanggung jawab menghidupi anak-anaknya dan anak-anak orang yang mati syahid.

Ada pula yang berpendapat bahwa multipartai adalah sesuatu yang tidak bisa diterima Islam. Tidak boleh mendirikan beberapa partai, go­longan atau organisasi yang bervisi politik di dalam daulah Islam.

Kaidah yang sudah disepakati para ulama kits terdahulu adalah: "Hukum tentang sesuatu merupakan cabang dari konsepsinya" Barang­siapa menetapkan hukum tentang sesuatu padahal dia tidak mengetahuinya secara pasti, maka ketetapan hukumnya itu dianggap cacat, sekalipun mungkin secara kebetulan benar. Sebab tindakan ini seperti lemparan yang tidak diketahui siapa yang melempar. Disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa hakim yang menetapkan hukum tanpa menge­tahui permasalahannya, akan berada di neraka, seperti orang yang menge­tahui kebenaran namun menetapkan yang lain.

Apakah Substansi Demokrasi?

Substansi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah-isti­lah akademis, adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang (kandidat) yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu mereka tidak akan mengangkat orang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang. Mereka tidak boleh digiring kepada suatu trend atau paham ekonomi, sosial atau politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai.

Inilah substnnsi yang hakiki dari demokrasi, yang memberikan bentuk dan beberapa sistem praktis, seperti pemilihan umum, meminta pendapat rakyat, menegaskan ketetapan mayoritas, multipartai politik, hak minoritas yang bertentangan, kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan dan lain-lainnya.

Substansi Demokrasi Sejalan dengan Islam

Siapa yang memperhatikan substansi demokrasi, tentu akan melihat bahwa justru ia berasal dari Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai orang-orang yang makmun di belakangnya. Di dalam hadits disebutkan, "Tiga golongan yang shalatnya tidak bisa naik di atas kepala mereka sekalipun hanya sejengkal...." lalu beliau menye­butkan yang pertama di antaranya, "Seseorang yang mengimami suatu kaum dan mereka tidak suka kepadanya." (Diriwayatkan Ibnu Majah).

Jika dalam shalat saja urusannya seperti ini, lalu bagaimana dengan berbagai urusan kehidupan yang lain dan politik? Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan,

"Sebaik-baik para pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian, dan seburuk-buruk para pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, yang kalian mengutuk mereka dan mereka mengu­tuk kalian. " (Diriwayatkan Muslim).

Multipartai dalam Politik Sama dengan Ragam Madzhab dalam Fiqih

Tatkala kita memperbolehkan prinsip multipartai di daulah Islam, bukan berarti hams ada sekian banyak partai dan golongan yang boleh didirikan setiap tokoh, sehingga mereka boleh berbeda dalam menetapkan tujuan atau kemaslahatan individualnya, lalu kita rebut ini adalah partai Fulan, itu adalah partai Alan dan ini adalah partai Hayan bin Bayan. Lalu karena itu mereka boleh menghimpun orang-orang dan memutar mereka di garis edarnya. Contohnya adalah multipartai yang didirikan berdasarkan asas rasial, daerah, status sosial atau lain-lainnya yang mencerminkan fanatisme terhadap sesuatu, yang sama sekali terlepas dari napas Islam.

Multi yang disyariatkan adalah multipemikiran, sistem dan politik, yang bisa disodorkan suatu golongan yang memiliki landasan dan hujjah, yang didukung orang-orang yang mempercayainya dan tidak melihat cara untuk mengadakan perbaikan kecuali dengan mendirikan partai.

Multipartai dalam kancah politik tidak berbeda jauh dengan Multi madzhab dalam kancah fiqih. Suatu madzhab fiqih merupakan sekolah pemikiran yang memiliki akar-akar yang khusus dalam memahami syariat dan menyimpulkan dalil-dalilnya yang terinci. Pada dasarnya para peng­ikut madzhab adalah murid-murid di sekolah ini, yang percaya bahwa sekolah itulah yang lebih mendekati kebenaran dan lebih menunjukkan jalan dari sekolah lainnya. Mereka ini serupa dengan kelompok pemikiran dan para anggotanya saling bertemu pada dasar-dasar ini serta men­dukungnya, sekalipun mereka tidak menganggap madzhab lain batil.

Jadi partai ini bisa diserupakan dengan madzhab dalam politik, yang memiliki filsafat, dasar dan sistem yang didasarkan kepada Islam yang lapang. Para pengikut partai bisa diserupakan dengan para pengikut madz­hab fiqih. Masing-masing orang mendukung mana yang dilihatnya lebih dekat dengan kebenaran dan memang lebih layak untuk didukung.

Pemahaman Fiqh Politik yang Melahirkan ketidakadilan

Segolongan orang berpendapat bahwa Syura adalah lembaga sekedar memberi masukan dan bukan yang menentukan, pemimpin daulah dipilih Ahlul-halli wal-aqdi, diangkat untuk selama hidupnya, dialah yang berhak mengangkat Ahlul­halli wal-aqdi, pemilihan umum bukan merupakan sarana yang sejalan dengan syariat, wanita tidak memiliki hak memberikan suara dan tidak layak duduk di majelis perwakilan. Bidang ekonomi adalah bebas, hak milik tidak terbatas, prinsip dalam hubungan luar negeri adalah perang, pemimpin atau khalifah berhak mengumumkan perang atau menerima perdamaian, dan pemikiran-permikiran lainnya.

Pertanyaannya adalah jika golongan yang berpendapat seperti ini menang dalam pemilihan dan memegang kendali kekuasaaan, apakah ia akan melindas golongan lain ? Hanya karena ia memegang kendali, kemudian memberinya hak untuk tetap eksis dan golongan lainnya harus diberantas ?

Setiap pemikiran mempunyai hak untuk mengungkapkan apa yang tersirat di dalam dirinya, selagi memiliki arah landasan yang jelas serta para pengikut yang mendukungnya.

Kita melihat bagaimana golongan Mu' tazilah tatkala memiliki oto­nomi kekuasaan pada masa khalifah Al-Ma'mun bin Ar-Rasyid, pada masa Al-Watsiq dan Al-Mu'tashim setelah itu. Mereka hendak memaksakan pendapat golongannya kepada semua orang dan sama sekali tidak memberi tempat bagi pendapat yang lain, sekalipun itu hanya berupa peta pemikiran. Mereka menghadapi dan meredam pendapat golongan lain dengan cemeti dan pedang, yaitu yang tidak sejalan dengan pendapat mereka dalam masalah yang mereka ciptakan sendiri, yang terkenal dalam sejarah akidah, yang disebut dengan masalah "Makhluknya Al-Qur'an". Tidak sedikit para pemuka kaum Muslimin dan imam yang besar harus mendapat siksaan mereka, seperti yang dialami imam Ahmad bin Hanbal Radhiyallahu Anhu.

CATATAN POLITIK ISLAM INDONESIA

Di Indonesia beberapa tahun terakhir tumbuhnya partai-partai yang mengatasnamakan ummat Islam, ada yang terang-terangan menyatakan beridieologi Islam, namun ada juga yang berasas Nasionalis tapi Berbasiskan ummat Islam. Beberapa ormas Islam besar juga membentuk partai-partai Islam atau berbasiskan ummat Islam, bahkan ada yang lebih dari satu partai.

Kondisi ini menjadi kendala tersendiri bagi ummat Islam Indonesia, banyaknya partai-partai yang berlabel Islam atau bernafas Islam, menimbulkan kesan bahwa ummat Islam susah bersatu, susah akur, dan masing-masing mau menang sendiri. Namun sebagian lain menyatakan bahwa keragaman partai ini suatu keniscayaan karena beragam pula karakter dan budaya bangsa Indonesia.

Terlepas dari hal tersebut, yang menjadi perhatian kami adalah, kurangnya semangat dari partai-partai Islam tersebut untuk Istiqomah berdakwah di dunia politik, melalui kebersihan anggota-anggotanya, para aktifis yang tadinya kritis terhadap perilaku korup ketika mahasiswa, ternyata setelah terjun ke dunia politik, banyak yang tidak kalah korupnya dengan para politisi pendahulu yang mereka kritisi.

Jauhnya kader-kader Partai Islam dari pola hidup sederhana (zuhud), dan sebaliknya mempertontonkan pola hidup mewah kepada rakyat yang semakin miskin.

Akhlakul karimah tidak lagi ditampilkan dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan partai-partai Islam melalui Dewan Perwakilan, hal yang menjadi catatan kami antara lain :

  • Menyetujui UU Pemilu yang mengkebiri sistem Bikamerald (Dua Kamar) dengan membatasi peran DPD sebagai penyeimbang DPR. Dan membolehkan pengurus Parpol menjadi calon anggota DPD (tidak netral/independen lagi). Padahal bikamerald ini, diyakini pakar bernegara sebagai hal yang sangat sesuai dikembangkan untuk negara dengan sistem presidential.
  • Mejilat ludah sendiri dengan menggolkan keputusan yang menganulir UU Pemilu tahun 2003 dengan UU Pemilu yang baru tentang batasan elektoral treshold partai-partai peserta pemilu. Padahal banyaknya jumlah partai peserta pemilu, tanpa batasan yang ketat, menjadi beban tersendiri bagi penyelenggara pemilu, dan membuat demokrasi tidak berjalan secara efektif.
  • Masih dalam UU Pemilu yang baru tersebut, DPR, berusaha membuat aturan yang mengatur pemberitaan media. Padahal Pers seharusnya bebas memberitakan berita yang dikehendaki masyarakat.
  • Menyetujui UU Liberalisasi Air. Padahal air adalah hajat hidup orang banyak.
  • Menyetujui penyerahan penguasaan kekayaan sumber daya alam kepada perusahaan-perusahaan asing yang reputasinya kurang baik. Contoh penyerahan Blok Cepu (Minyak) kepada Exxon, perusahaan minyak milik jaringan kartel Yahudi Amerika.
  • Dll.

Dari yang kami uraikan diatas, nampak seolah-oleh bahwa partai-partai Islam menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir dari perjalanan dakwah politiknya. Sehingga setelah kekuasaan ditangan, maka berakhir pula dakwah Islam mereka.

KESIMPULAN

Sebagaimana kami nyatakan bahwa kekuasan atau politik dalam filosofi dakwah Islam adalah masuk pada bab wasilah atau sarana, oleh karena itu kekuasaan tidak boleh menjadi tujuan dari perjuangan dakwah itu sendiri. Dakwah, bertujuan menyeru manusia kepada Jalan Allah


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu…..(QS 2: 125.)

Dan aktifitas dakwah ummat Islam berlandaskan pada perintah Allah


Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS 3 : 104)

Logika-logika kekuasaan musuh Islam saat ini yang menyatakan bahwa politik itu kotor, dan harus dilawan dengan cara yang juga kotor. Jika kita sampai terjebak pada logika tsb dan otomatis menjadikan tujuan dari dakwah itu adalah kekuasaan, dengan mengikuti pola-pola perilaku kotor tsb, maka perjuangan ummat ini akan sia-sia.

Begitu kita termakan pada logika kekuasaan sekuler, misalnya kekuasaan itu butuh uang dan uang butuh kekuasaan, more money more power, maka hakikat awal terjunnya seorang pendakwah ke medan politik menjadi bias. Selanjutnya ia akan semakin terjebak pada intrik-intrik kekuasaan yang kotor, dan menjauhkannya dari perilaku politik yang bersih. Inilah yang hari ini sering menimpa aktifis-aktifis dakwah kita yang terjun ke dunia politik.

Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa ketika ummat Islam diuji dengan kesusahan dan kesengsaraan, ia dapat melaluinya dengan sukses, tetapi ketika ummat ini diuji dengan kesenangan dan kemewahan dunia, maka banyak diantara ummat ini yang gagal untuk melaluinya (QS 2 : 249, 3: 152).

Perilaku isti’jal (tergesa-gesa) juga salah satu perilaku yang dapat menggelincirkan aktifitas politik ummat menjadi menyimpang dari tujuan awalnya. Perilaku ini dapat menyebabkan aktifis politik Islam mengabaikan kondisi realitas ummat dan memaksakan diri untuk berkuasa, di tengah ketidaksiapan konsep tentang pemerintahan/kekuasaan yang akan dijalaninya, dan perubahan perbaikan yang akan diterapkan ditengah masyarakat. Akhirnya Kekuasaannya tidak dapat dipergunakan untuk mengubah kondisi masyarakat menjadi lebih baik, tetapi hanya untuk melanggengkan kepentingannya semata.

Akan tetapi jika syarat-syarat dalam berpolitik itu dipenuhi, salah satu prinsip yang dapat menjaga ummat ini dari penyimpangan ghoyah yaitu budaya syuro, tausiah, muhasabah dan muroqobah. Disamping itu juga dakwah di bidang politik, jangan sampai melemahkan semangat dakwah di bidang-bidang non politik lainnya. Kemudian juga pembangunan basis-basis sosial dakwah yang dapat menopang kerja-kerja dakwah, artinya ada struktur pondasi jamaah yang kokoh yang menopang aktifitas politiknya.

Dengan gambaran seperti yang kami sampaikan diatas, nyatalah, bahwa tidak mudah bagi siapapun atau golongan manapun untuk melakukan perbaikan dengan semata-mata mengandalkan dakwah basis politik saja. Reformasi di segala bidang dan perubahan sosial ke arah yang lebih baik, seharusnya tidak hanya menyentuh hal-hal yang bersifat duniawi/materiil saja, tetapi juga harus menyentuh aspke ukhrawi/immateril.

Reformasi dan perubahan sosial bukan hanya merupakan tuntutan jaman dan demokrasi, namun lebih dari itu, merupakan tuntutan nubuwwah. Rasulullah saw, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi memberi isyarat tentang periodisasi perjalanan sejarah umatnya. Pertama, periode Nubuwwah, yaitu masa di mana Muslimin hidup bersama Rasulullah saw. Kedua, periode Khilafah alaa minhajul Nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30 tahun. Ketiga, periode Mulkan `Adhon yaitu masa di mana para raja atau penguasa suka menindas Periode ketiga ini, menurut sebagian ahli sejarah Islam, dimulai sejak berakhirnya Al Khulafa ur Rasyidin sampai berakhimya Kesultanan Utsmaniyah. Dalam masa ini hidup para raja dari berbagai dinasti terutama Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyyah. Keempat, periode Mulkan Jabbariyyah yaitu masa di mana Muslimin hidup dalam suasana sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler. Setelah berakhimya periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa awal Islam, tetapi bukan kenabian karena kenabian telah berakhir, namun kembali ke periode Khilafah ala Manhaj Nubuwwah. Dan masa sekarang ini dikategorikan sebagai periode Mulkan Jabbariyah.

Apa yang harus dilakukan oleh kaum muslimin agar jaman bisa berubah dari jaman raja yang sewenang-wenang menjadi jaman khilafah berdasarkan manhaj kenabian? Di antara para ulama dakwah yang memberikan gambaran tentang langkah yang harus dilalui oleh para aktifis dakwah, adalah ustadz Hasan Al-Banna, beliau menjelaskan secara rinci tentang hal ini di dalam Risalah Ta'lim.

Ustadz Hasan Al-Banna mengatakan tentang amal dalam Risalah Ta'lim : Yang saya maksud dengan amal (aktivitas) adalah bahWa ia merupakan buah dari ilmu dan keikhlasan.

"Dan katakanlah,'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. At-Taubah:105)

Adapun tertib amal yang dituntut dari seorang aktifis dakwah yang tulus adalah:

Perbaikan diri sendiri, Pernbentukan keluarga muslim, Bimbingan masyarakat, Pembebasan tanah air Islam dari penguasa asing, Memperbaiki keadaan pemerintah, Penegakan kepemimpinan dunia

Kenapa harus dimulai dengan perbaikan diri sendiri?, karena masing-masing pribadi manusia adalah elemen terkecil -batu bata pertama- dari bangunan sosial. Baik orang-orangnya, baik pula masyarakatnya.

"Sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya untuk Allah belaka". (QS. Al-Baqarah:193)

"Dan Allah tidak menghendaki selain menyempumakan cahaya­Nya".(QS. At-Taubah:32)

Empat yang terakhir ini wajib dilakukan oleh jamaah dakwah dan oleh setiap aktifis dakwah sebagai anggota dalam jamaah dakwah itu. Sungguh, betapa besarnya tanggung jawab ini dan betapa agungnya tujuan ini. Orang melihatnya sebagai khayalan, sedangkan seorang muslim melihatnya sebagai kenyataan. Kita tidak pernah putus asa untuk meraihnya dan -bersama Allah- kita memiliki cita-cita luhur.

"Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan orang tidak mengetahuinya". (QS. Yusuf:21).

Namun demikian, jika hal-hal tersebut belum juga terwujud, maka upaya para pendakwah untuk terjun ke dunia politik harus tetap dihargai dan didukung, selama mereka istiqomah menjadikan politik sebagai sarana berdakwah, bukan sebaliknya.

Wallahu ‘alam bishowab


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abadi, Syamsul, Drs. EC-H, Peranan Politik Ummat Islam, Media Da’wah. 1989

Al bugha, Mustafa, Muhyidin Misto, Pokok – Pokok Ajaran Islam, Penerjemah : Abdullah, Lc, Cet I. 2002.

Al Qordhowi, Yusuf, Dr, Fiqh Daulah Dalam Perspektif al Qur’an dan Sunnah, Penerjemah: Kathur Suhardi, Pustaka Al Kautsar, Cet. I, 1997.

Al Qordhowi, Yusuf, Dr, Pedoman Bernegara Dalam Persfektif Islam, Penerjemah : Kathur Suhardi, Pustaka Al Kautsar, Cet. I, 1999

Habibullah, Ustadz, Membedah Fiqh Musyarakah, Seri Managemen Dakwah, 2008

Moten, Rasyid, Abdul, Ilmu Politik Islam, Penerjemah : Munir A. Mu’in dan Widyawati, Penerbit Pustaka. Cetak I. 2001.

Nashiiraa, Sulthaanan, Gerakan Politik dan Dakwah Islam, Harakah Siyasiyah wa Dakwah Islamiyah, Bina Mitra Press, Cet. I, 1998

Usairy, Ahmad, Sejarah Islam, Akbar Media Eka Sarana, Cet. V, 2007

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, RajaGrafindo Persada, Cet. I, 2006

Rabu, Juli 02, 2008

KORUPSI, PATHOLOGY SOSIAL ATAU PERILAKU SOSIAL ?

tulisan ini adalah makalah yang saya buat untuk tugas kuliah Pathology Sosial dengan dosen Dr. Elidar Husein di Pendidikan Kader Muballigh KODI Jakarta.




Ketika menawarkan diri untuk membuat makalah tentang KORUPSI, saya sama sekali tidak berpretensi bahwa saya adalah manusia yang bersih dari KORUPSI. Sebaliknya saya merasa sebagai warga yang sedikit banyak terlibat dalam perilaku KORUP, dan turut andil dalam budaya Korupsi di masyarakat. Kondisi masyarakat kita telah membuat kita secara terpaksa atau tidak, secara sukarela atau tidak, pada akhirnya mengikuti atau menyuburkan perilaku koruptif, manipulatif dan permisif (pada amanah).

TERMINOLOGI KORUPSI

Kalau ditelusuri, kata "korupsi" yang berasal dari kata corruptio (Latin) sebenarnya sudah dipakai sejak zaman para filosof Yunani kuno. Aristoteles misalnya, memakai kata itu dalam judul bukunya De Generation et Corruptione. Dalam pemahaman Aristoteles, kata korupsi—yang ditempatkan dalam konteks filsafat alam-nya—lebih berarti perubahan, meski dalam arti negatif.

Kalau kemudian Lord Acton, dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton (1887), menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal: "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely" itu, menjadi jelas bahwa ada pergeseran semantis (makna). Tampak ada dua pergeseran. Yang pertama ada dalam terkaitnya korupsi dengan kekuasaan. Yang kedua adalah pergeseran pada hal yang dilukiskan. Jika makna korupsi dalam pengertian Aristoteles itu lebih melukiskan akibat yang terjadi, korupsi dalam zaman modern lebih menunjukkan sebabnya. Pergeseran atau lompatan pemaknaan ini mungkin bisa menerangkan mengapa tidak ada padanan kata "korupsi" dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa Jawa, berkaitan dengan makna kekuasaannya itu.

DALAM DUNIA SAYA

Dalam dunia komputer, jika ada file atau data yang rusak sehingga tidak berfungsi, atau berfungsi tapi tidak maksimal, atau fungsinya di intervensi menjadi fungsi lain (dalam pengertian negatif), data tersebut di sebut CORRUPT. Jika system (dalam komputer) itu Corrupt biasanya mengakibatkan Fatal Error (Kerusakan Luas Biasa). System biasanya menjadi mandul, tidak berfungsi dan kemudian harus di replace (digantikan). System yang sudah SANGAT CORRUPT kemungkinan besar tidak dapat diperbaiki atau sangat sulit diperbaiki. Saya lebih senang menggantinya dengan system yang sama sekali baru atau dari backup terakhir yang terjamin Running Well dan tidak terkontaminasi.

REFORMASI DAN KORUPSI

Dulu jaman Orde Baru tema Korupsi ini adalah tema yang sangat Tabu. Tahun 90-an Prof. Sumitro Joyohadikusumo pernah menyatakan bahwa kebocoran dana APBN selama ini (saat itu) mencapai 30%. Pemerintahpun gempar dan menekan Pak Mitro sehingga akhirnya Beliau meralat atau memperhalus pernyataannya.

Setelah ekonomi Indonesia terhempas akibat over heating tahun 1998, reformasi yang di motori mahasiswa bergulir bak bola salju yang sangat dahsyat. Soeharto akhirnya mengundurkan diri ditengah desakan publik yang menilai dirinya selama ini telah berbuat SANGAT Korup, sehingga menyebabkan Indonesia yang sebenarnya kaya akan sumber daya alam, menjadi negara yang miskin. Gelombang Reformasi ketika itu sebenarnya mengkristal menjadi 6 Visi Reformasi yaitu : 1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya 2. Otonomi seluas-luasnya, 3. Brantas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) 4. Amandemen UUD 1945 5. Cabut Dwi fungsi ABRI 6. Tegakkan Supremasi Hukum dll.

Anehnya setelah 10 tahun reformasi bergulir, ternyata keadaan Indonesia tidaklah menjadi lebih baik, bahkan sebaliknya negara ini menjadi semakin korup dan bahkan oleh sebagian pengamat disebut sebagai negara lemah (weak states) yang sedang bergerak menjadi negara gagal (failed states).

Soeharto bukannya tidak pernah diadili, tetapi usaha-usaha untuk membawa kasus Soeharto ke pengadilan selalu di mentahkan baik oleh institusi pemerintahan ataupun institusi hukum. Otonomi yang dilaksanakan salah satunya dengan cara pilkadal, bukan malah memperbaiki daerah tersebut tetapi malah membuat perpecahan di tengah-tengah masyarakat (contoh pilkada Depok, pilkada Lampung, Pilkada Maluku Utara, dll). Ujungnya adalah bentrok antar pihak massa dan timbulnya raja-raja kecil baru hasil dari KKN baru yang lebih lokal. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme hanya sebatas Retorika Politik menjelang Pemilu, bahkan saya mensinyalir pada pemilu 2009 tidak akan ada lagi Partai yang mengusung tema BERSIH DARI KORUPSI karena terbukti semua partai ketika terjun ke parlemen tidak dapat menjaga kebersihannya. Supremasi hukum bukan di tegakkan tapi di bengkokkan sesuai dengan uang yang membayarnya. Amandemen UUD 45 memang telah dilaksanakan, tapi ternyata sebagian mengarahkan kepada neo Liberaslisme baru yang penerapannya bahkan tidak lagi memperhatikan kepentingan rakyat atau bahkan negara itu sendiri.

REALITA KORUPSI, DARI PATOLOGI SOSIAL MENJADI PERILAKU SOSIAL (SOSIAL BEHAVEOUR)

Tidak dipungkiri lagi bahwa kata KORUPSI adalah kata yang sangat populer saat ini, mungkin juga bersanding dengan kata CINTA. Korupsi menjadi populer karena saat ini masyarakat merasakan betul dahsyatnya dampak korupsi. BBM Naik, Harga-harga Naik, Sekolah susah dan Mahal, Persaingan semakin keras, Air Bersih susah didapat, Sehat semakin mahal, Kelaparan, Kesenjangan Sosial, Kemelaratan, Kemiskinan, Ketergantungan pada produk import, pelacuran, Kehilangan harga diri, Kebodohan dan pembodohan, dan segala macam bentuk keterpurukan serta tirani di masyarakat.

Saat ini setiap pemimpin atau pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya bisa di sebut Korup. Setiap orang yang serakah bahkan bisa saja mendapat cap tersebut. Orang yang berkolusi atau Nepotisme akan dicap juga sebagai seorang Korup. Nampak masyarakat kita mudah sekali menggunakan kata Korup ini untuk menuding pejabat.

Tetapi sebenarnya persoalan terbesar dalam memerangi korupsi di Indonesia adalah bahwa rakyat Indonesia sendiri bersikap fleksibel terhadap korupsi. Berdasarkan survei dan dalam banyak kasus, memperlihatkan masyarakat kita cenderung mendefiniskan korupsi dari segi kuantitas, yang berarti bahwa, baru akan disebut korupsi jika yang diambil secara tidak semestinya itu dalam jumlah yang besar. Banyak orang juga menganggap bahwa masih wajar jika orang-orang yang berkuasa memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Masyarakat baru akan merasa jijik jika orang-orang itu TERLALU SERAKAH. Masyarakat juga tidak terlalu mempermasalahkan orang yang korupsi terutama jika ia ikut menikmati hasil tersebut. Mungkin mereka akan membela orang tersebut dengan mengatakan bahwa masih banyak yang korupsi-nya lebih besar tetapi tidak tersentuh hukum.

Para Koruptor di Indonesia juga diuntungkan dengan produk hukum penjajah Belanda yang sangat memihak oknum tsb(sangat wajar mengingat mereka dahulu adalah pelaku dari tindakan tersebut). Sebagian besar produk hukum kolonial yang menjadi acuan tersebut tidak jelas dan sudah sangat ketinggalan jaman.

Klop lah dua penyebab diatas menjadi penyubur budaya korupsi di masyarakat. Yang pertama adalah sebuah pathology sosial yang telah amat-sangat akut, yaitu budaya koruptif, jalan pintas, materialistis berlebihan hingga menempuh jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif dalam amanah. Dan Kedua, kemudian bertemu dengan realitas hukum yang amburadul, baik systemnya maupun para penegaknya dan akhirnya penegakannya atau produk hukumnya.

Disinilah akhirnya yang memperparah korupsi sebagai pathology sosial itu, karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor itu sangatlah ringan miliaran s/d triliunan hanya beberapa tahun saja, bahkan kasus BLBI yang merugikan negara hingga 600-an triliunan dan hingga kini masih terasa efeknya, sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara. Akhirnya masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup nyaman, apalagi jika tidak tertangkap bukan main beruntungnya.

Pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terDISTORSI. Dari awalnya masyarakat menganggap perilaku Korupsi itu sebagai pathology sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat, saat ini masyarakat merasa orang tidak mungkin eksis kalau terlalu jujur. Akhinnya perilaku Korup itu menjadi suatu SOSIAL BEHAVIOUR (perilaku masyarakat/ perilaku sosial). Ini misalnya dapat dilihat dari kalimat JUJUR DAN CERDAS, di mata masyarakat jujur saja itu salah, tetapi ketika jujur dan CERDAS, maka itulah yang benar, karena menurut mereka jujur itu cenderung bermakna BODOH. Ini sebenarnya suatu pretensi tetapi dengan berdasarkan fakta. Faktanya adalah system di Indonesia mengharuskan orang untuk mendukung perilaku Koruptif, Manipulatif, dan Permisif.

Saya contohkan, di Jakarta, jika anda membuat KTP berapa biaya SEBENARNYA yang harus dikeluarkan dan berapa TERNYATA anda keluar biaya ? biayanya sebenarnya hampir tidak ada, tetapi anda bisa keluar biaya sangat besar dari 20rb hingga 50rb mungkin lebih. Sama halnya, jika kemudian anda menikah. Padahal mengurus menikah itu kita berurusan dengan departemen Agama, sesuatu yang sakral, mayoritas kaum santri lulusan IAIN atau UIN (sekarang), tetapi jika berhubungan dengan korupsi ya sama saja. Saat ini di setiap kelurahan di Jakarta ada program pemberdayaan masyarakat (PPMK), yang digulirkan pemda dengan dana 2 milyar setiap kelurahan. Setiap pelaksana program tersebut mendapat honor dan seharusnya program tersebut tidak berbunga. Tetapi hampir tidak ada wilayah yang membebaskan peserta program tersebut dari biaya, artinya program tersebut tetap berbunga, walaupun lebih kecil dari bunga bank.

Sektor-sektor pelayanan publik di Indonesia sangat rentan korupsi, walaupun bisa jadi kadang-kadang, nilainya (menurut pelaku) sangat kecil, sekedar salam tempel, tetapi itulah yang meyuburkan perilaku permisif amanah, dan koruptif. Pada akhirnya masyarakat kita cenderus apatis, pesimis, dan pragmatis dalam memandang perkara Korupsi ini. Dan itu menjadikan mereka (masyarakat umum) terbiasa tidak disiplin, menyepelekan peraturan (karena terang-terangan dilanggar aparat), serta senang dengan jalur-jalur instant (meskipun berbahaya).

KEMBALI KEPADA KEJUJURAN DAN HATI NURANI

Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa keterbukaan, Reformasi atau yang sejenisnya, itulah yang menyuburkan Korupsi. Bukan dan sama sekali bukan itu maksud saya. Masyarakat saat ini butuh contoh, teladan dalam hal kejujuran. Masyarakat butuh pemimpin yang jujur dan berhati nurani. Yang tidak korupsi, hingga hal yang sangat-sangat kecil sekalipun. Itulah yang akan merevolusi paradigma masyarakat Indonesia. Dan sebgagai bagian dari masyarakat kita harus terus bermuhasabah dan bermuroqobah, apakah perilaku kita, tindakan kita hari ini, sudah mulai koruptif, manipulatif dan permisif. Apakah kita sudah mulai menganggap remeh peraturan, mulai suka dengan jalan pintas, mulai melanggar disiplin, mulai suka subhat, mulai menyerempet yang haram, dan lain-lain perilaku manipulatif. Mulailah pemberantasan korupsi dengan perubahan RADIKAL dan berjihad pada diri sendiri untuk selalu menegakkan kejujuran dan hati nurani dalam setiap perbuatan.

CONTOH KEBERHASILAN DAKWAH RASULULLAH SAW

Dan itulah yang telah di contohkan Rasulullah SAW pada lembaran sirah kenabiannya. Masyarakat Arab sebelum periode kenabian adalah masyarakat yang sangat sakit, pathology sosialnya sangat kronis. Tetapi kemudian Islam datang dan membuat perubahan radikal, dan lahirlah ummat terbaik yang kemudian memimpin dunia ini hingga berabad-abad lamanya dalam periode kegemilangan sejarah umat manusia.

Sebagian anda tentu pernah menonton film berjudul The Untouchable atau mendengar ceritanya, film ini bercerita tentang kisah nyata seorang agen FBI bernama Elliot Ness, yang hidupnya didedikasikan untuk memburu mafia penyelundup miras kejam bernama Al Capone. Saat itu Undang-undang sangat melarang peredaran minuman keras, sedangkan masyarakatnya terlanjur cinta berat dengan alkohol. Dan Film ini berarkhir dengan Capone dipenjara bukan karena praktek mafianya (menyelundup miras), tetapi karena penggelapan pajak.

Satu hal menurut saya, bahwa akhirnya Amerika mencabut undang-undang pelarangan minuman keras, hingga sekarang minuman keras legal beredar. Kebijakan anti alkoholism dianggap kebijakan yang konyol dan tidak masuk akal. Inilah kegagalan Amerika dalam mencegah alkoholism pada rakyatnya.

Sangat berbeda dengan Rasulullah yang walaupun tipe masyarakat Arab saat itu sama atau bahkan lebih parah dari karakteristik masyarakat Amerika. Tetapi kita lihat hasil dakwah Nabi saat ini, hampir tidak ada satupun minuman beralkohol di jual bebas di kalangan masyarakat Arab. Masyarakat Arab Muslim sangat anti terhadap miras dan jumlah Alkoholic Arab Muslim sangat sedikit atau hampir tidak ada. Di negara Arab Muslim yang menerapkan syariah Islam, hampir tidak ada fenomena anak-anak muda mabuk-mabukan di jalan. Dalam hal yang sama rasanya kita bisa berharap pada peperangan melawan pathology sosial korupsi ini. Mudah-mudahan.

Tidak akan menjadi baik ummat ini, kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi pendahulu mereka (generasi sahabat).

Wallahu ‘a lam bishowab

Edited by : Abasir abasyir.blogspot.com