Kamis, Oktober 23, 2008

Prinsip – Prinsip Ekonomi Islam

Islam sebagai ad din adalah agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna. Kesempurnaan ajaran Islam, dikarenakan Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek spiritual (Ibadah murni = mahdhoh), tetapi juga aspek muamalah yang meliputi ekonomi, sosial, politik, hukum dan sebagainya.

Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh interlektual muslim, tetapi juga para orientalis Barat, diantaranya H.A.R Gibb yang menyatakan, “Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization”.

Maka menjadi tidak relevan bila ada anggapan bahwa Islam sebagai agama penghambat kemajuan pembangunan, sebagai agama ritual an sich (an obstacle to economic growth). Pandangan ini disebabkan mereka tidak memahami Islam secara komprehensif.

Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (muamalah, iqtishodiyah). Ajaran Islam tentang ekonomi terkumpul dalam ayat-ayat Qur’an, Sunnah, maupun Ijtihad para ulama. Bahkan ayat terpanjang dalam Qur’an adalah ayat tentang masalah ekonomi. Bukan masalah ibadah atau aqidah. Yaitu ayat 282 Surat Al Baqarah, yang menurut Ibnu Arabi mengandung 52 hukum/masalah ekonomi.

Nabi Muhammad SAW menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadist ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (poebisnis) merupakan profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.

Literatur Islam tentang masalah ekonomi sebenarnya cukup banyak, seperti Al Umm (Imam Syafi’e), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Dan masih banyak lagi kitab-kitab fiqih karya ulama klasik yang membahas topik-topik ekonomi seperti mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’I salam, istisna, riba dan ratusan konsep muamalah lain. Ibnu Khaldun misalnya membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan (Supply and Demand), Konsumsi dan Produksi, Uang, Pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik, dan kemakmuran, dan sebagainya. Ibnu Khaldun juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. (Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature, dalam buku Studies in Islamic Economic, International Centre for Reseaarch in Islamic Economics King Abdul Aziz Jedah and The Islamic Foundation, United Kingdom, 1976 hal 261).

Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang, yaitu sekitar 7 abad (sejak abad 12 s/d pertengahan abad 20), ajaran-ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam tumpukan sejarah dan mengalami stagnasi (kebekuan). Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme Barat mendesakkan dan mangajarkan doktrin-doktrin ekonomi ribawi yang sangat kapitalistik. Proses ini berlangsung sejak abad 18 s/d 20 lamanya, sehingga paradigma dan sibhoh ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena pikirannya telah mengkristal anggaapan bahwa ekonomi ribawi dan kapitalisme adalah yang terbaik. Padahal ekonomi syariah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana dinyatakan Allah dlm Al Qur’an:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS Al Jaatsiyah : 18).

Kedudukan Ekonomi Islam dalam Syariah

Ekonomi Islam menduduki posisi sangat penting dalam ajaran Islam. Prof. Dr. Muhammad ‘Asal dan Prof. Dr. Fathi Ahmad menulis dalam buku, An Nizham al Iqtishadi fil Islam bahwa :
Ekonomi Islam adalah bagian Integral dari sistem Islam yang sempurna. Apabila ekonomi konvensional –dengan sebab situasi kelahirannya- terpisah secara sempurna dari agama. Maka keistimewaan terpenting ekonomi Islam adalah keterkaitannya secara sempurna dengan Islam itu sendiri, yaitu aqidah dan syariah.

Muhammad Rawwas Qal’ah menyatakan pandangan yang sama tentang kedudukan ekonomi Islam tersebut :
Apabila ekonomi Islam menjadi bagian dari Islam yang sempurna, maka tidak mungkin memisahkannya dari sistem aturan Islam yang lain, dari aqidah, ibadah dan akhlak.

Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id menyebutkan bahwa ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Sebagaimana yang ia tuturkan dalam kitab Al Mu’amalah fil Islam.
Diantara maslah paling penting adalah ‘Muamalah’ yang mengatur hukukm antara individu dan masyarakat. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka.

Para ulama sepakat tentang mutlaknya ummat Islam memahami dan mengetahui hukukm muamalah maliyah (ekonomi syariah). Semua ulama dunia ahli ekonomi Islam telah ijma mengharamkan bunga bank. Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Segelintir tokoh ulama yang membolehkannya disebabkan mereka bukan pakar ilmu ekonomi Islam. Mereka biasanya hanya pakar fiqh yang tidak memiliki disiplin ilmu atau pendidikan ekonomi Islam. Lahirnya bank-bank Islam dan lembaga keuangan Islam yang bebas bunga, merupakan hasil ijtihad mereka yang luar biasa. Meskipun masih sering ada sebagian ummat yang secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensional dan sering salah paham tentang syariah.

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Prinsip ekonomi Islam menjadi dasar dan landasan setiap aktivitas perekonomian, baik individu, perusahaan maupun negara. Para pakar ekonomi Islam merumuskan setidaknya ada tiga prinsip utama ekonomi Islam.

1. Tauhid.

Fondasi utama seluruh ajaran Islam adalah Tauhid. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik ekonomi, pilitik, sosial maupun budasya. Tauhid merupakan filsafat fundamental dari ekonomi Islam.

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS Az Zumar : 38)

Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme. Dalam konteks ekonomi, tauhid berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah.

Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi. Pertama, semua sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan manusia secara adil.

Dalam pengelolaan sumber daya tsb manusia harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syariah.

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
18. Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS Al Jaatsiyah [45]:18)

Artinya, setiap pengelolaan sumber daya dan semua cara dan usaha mencari rezeki harus sesuai dengan aturan Allah. Demikian pula membelanjakannya seperti spending, investasi dan tabungan harus sesuai dengan syariah Allah. Inilah implikasi pertama dari konsep tauhid pada ekonomi Islam.

Kedua, Allah menyediakan sumberdaya alam sangat banak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manusia berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam, sumber daya- sumber daya itu, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung (tak terbatas) banyaknya.

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).(QS Ibrahim[14] : 34)

Berbeda dengan pandangan di atas, para ahli ekonomi konvensional saat ini selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam terbatas (limited), sedangkan dalam ekonomi Islam, sumberdaya alam banyak dan melimpah. Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam, melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga terwujud ketidakadilan sumber daya (ekonomi). Banyak sekali ayat Al Qur’an menunjukkan bahwa pertanian, perdagangan, industri baik barang maupun jasa dan berbagai bentuk kegiatan produktif dimaksudkan untuk kehidupan manusia.

Konsep tauhid ini juga mengajarkan bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari dan bertujuan akhir kepada Allah. Karena itu seluruh aktivitas ekonomi harus bertitik tolak dari tauhid (keilahian) dan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah (kemenangan) guna mencapai ridha Allah. Ketika bekerja, berproduksi, seorang muslim menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Makin tekun ia bekerja, maka makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah.

Tauhid in ijuga mengajarkan kepada kita, bahwa barang-barang yang diproduksi adalah barang yang baik dan halal. Pelaku ekonomi yang bertauhid, tidak akan mau memproduksi rokok, miras apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Begitu juga dalam bidang jasa.


2. Keadilan

Komitmen Islam untuk penegakan keadilan sangat jelas. Hal ini terlihat dari penyebutan kata keadilan di dlm Al Qur’an mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti, kata urutan ketiga yang terbanyak disebut Al Qur’an setelah kata Allah dan ‘Ilm.

Bahkan Ali Syariati menyebutkan dua pertiga ayat Al Qur’an berisi tentang keharusan menegakkan keadilan dan membenci/melenyapkan kezhaliman. Dengan ungkapan kata zhulm, itsm, dhalal, dll. Karena itu, tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam.

Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat dari tekanan kelompok. Karenanya, sistem kapitalisme terutama yang berbaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai transedental (spiritual) dan persaudaraan universal. Sehingga tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat). Lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini semakin jelas terjadi di Indonesia.

Pajak dan transfer payment, adalah langkah mewujudkan keadilan sosio ekonomi yang diambil kaum kapitalisme Barat akibat tekanan-tekanan keliompok masyarakat dan politik. Namun langkah ini, menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif mengatasi ketidakadilan. Karena nyatanya, pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para pejabat pajak bersama kelompok-kelompoknya (orang-orang terdekat di pusat kekuasaaan).

Jadi konsep keadilan sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spiritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraaan universal sesama manusia.


3. Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Prinsip Kekbebasan dan tanggung jawab merupakan dua prinsip yang saling berkaitan. Pengertian kebebasan dalam perekonomian Islam difahami dari dua perspektif. Pertama persfektif teologi dan perspektif ushul fiqh.

Perspektif teologi berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan buruk dalam mengelola sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang baik dan yang buruk, maslahah dan mafsadah, manfaat dan mudharat. Karena itu, maka wajar jika harus bertanggung jawab atas segala perilaku ekonominya di muka bumi ini. Manusia dengan potensi akalnya mengetahui bahwa penebangan hutan secara liar dan serampangan akan menimbulkan banjir dan longsor. Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan mudharat. Riba adalah kezhaliman besar. Namun ia melakukannya juga, karena itu ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Allah, karena perbuatann itu dilakukan atas pilihan bebasnya.

Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah secara terpaksa (jabari), maka tidak logis ia diminta pertanggungjawaban atas penyimpangan perilakunya.

Jadi makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah manusia bebas tanpa batas melakukan apa saja sebagaimana faham liberalisme. Kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan mutlak, karena pemahaman seperti itu hanya akan mengarah kepada paradigma kapitalis mengenai laissez faire dan kebebasan nilai (value free). Kebebasan dalam pengertian Islam adlah kebebasan yang terkendali (al hurriyah al muqayyadah).

Dengan demikian, konsep ekonomi pasar bebas, tidak sepenuhnya begitu saja diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumberdaya yang adil dan efisien, tidak secara otomatis terwujud dengan sendirinya berdasarkan kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas berkuasa yang dalam Islam disebut lembaga hisbah.

Kebebasan dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari faham jabariyah (determenisme). Faham ini mengajarkan bahwa manusia bertindak dan berperilaku bukan atas dasar kebebasannya (pilihannya) sendiri, tetapi karena kehendak Tuhan (dipaksa Tuhan). Dalam faham ini manusia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang.

Determenisme seperti itu, tidak hanya merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. Karena adalah tidak logis menusia diminta tangung jawabnya, sementara ia melakukannya secara ijbari (terpaksa).

Pengertian kebebasan dalam perspektif ushul fiqh adalah bahwa dalam muamalah Islam membuka pintu seluas-luasnya, dimana manusia bebas melakukan apa saja sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaidah, “Pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.” Jika kita terjemahkan arti kebebasan bertanggung jawab ini ke dalam dunia bisnis, khususnya perusahaan, maka kita akan mendapatkan bhawa Islam benar-benar memacu ummatnya untuk melakukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.

Pertanggung jawaban (mas’uliyah) yang harus dihadapi manusia di akhirat juga merupakan konsekuensi fungsi kekhalifahan manusia sebagai khalifah. Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia merupakan pemegang amanah (trustee), karena itu setiap pemegang amanah harus bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya. Pertanggung jawaban, accountability atau mas’uliyah ditekankan dengan perintah dari Allah melalui istilah hisab atau perhitungan di hari pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al Qur’an dari akar kata hisab, muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah sebagai pertanggungjawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku kehidupan di dunia ini.

Kepercayaan pada hari kiamat juga memiliki peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Konsep pertanggung jawaban sudah ditetapkan oleh sunnatullah yang sangat ditekankan dalam Islam, bukan hanya merupakan norma etika umum atau perundang-undangan negara. Konsep ini tertanam di masing-masing individu muslim dan digambarkan dalam kehidupan masyarakat dan sistem Islam.
Edited by : Abasir abasyir.blogspot.com