Sabtu, Agustus 23, 2008

Bersikap Terhadap Anak

Seringkali orangtua bersikap salah terhadap anaknya, maksud hati mungkin ingin menasehati tetapi yang terjadi mencap anaknya dengan cap-cap nakal, bandel, tak bisa diatur. Saya sering memperhatikan ada seorang ibu yang selalu saja cekcok dengan anak pertamanya tetapi tidak dengan anak-anak lainnya. Anehnya kadang anak-anak lainnya melakukan kesalahan yang sama seperti anak pertamanya, tetapi perlakuan sang ibu berbeda, ia menganggap kesalahan anak lainnya itu masih wajar.

Banyak sekali pasangan yang mengalami konflik dalam masa-masa awal perkawinannya. Tahun-tahun pertama adalah tahun-tahun yang sulit untuk dilalui. Hal ini terutama terjadi pada pasangan yang menikah di jodohkan atau melalui proses ta’aruf islami (yang tidak benar). Meskipun telah ta’aruf, tetapi seringkali pada kedua pasangan ini tidak melakukan hal yang seharusnya yaitu memperkenalkan satu sama lain. Hal yang sering terjadi ketika pasangan itu berpacaran, karena ketika pacaran keduanya tidak sedang saling memperlihatkan karakter asli masing-masing tetapi saling menipu pasangannya dengan hanya menampilkan sisi-sisi baik dari dirinya.

Sehingga ketika pasangan itu menikah, terjadi shock. Masing-masing merasa kaget dengan tabi’at pasangannya. Atau salah satu saja yang kaget, itu sudah cukup untuk menimbulkan goncangan pertama dalam rumah tangga.

Nah sepertinya konflik masa-masa awal pernikahan ini yang kemudian membekas pada perilaku orangtua kepada anak atau sebaliknya. Mungkin saja seorang istri karena terbiasa dimarahi suami secara berlebihan (pada masa awal-awal pernikahannya), menjadi lebih cepat marah kepada anaknya. Mungkin saja karena si suami orang yang keras, sehingga ia tidak dapat membalas kemarahan si suami dengan kemarahan juga, dan hanya memendam rasa emosinya. Dan ketika anak pertamanya lahir maka si anak tersebutpun menjadi sasaran kemarahan sang Ibu. Hal-hal tersebut seringkali tidak disadari Ibu. Hal tersebut berjalan secara perlahan-lahan sedikit demi sedikit. Dan akhirnya si anak yang sudah terlalu sering di marahi apalagi kemudian ia sering juga mendapat cap sebagai anak yang nakal, bandel, tidak bisa diatur, dll, maka ia akan memposisikan dirinya sebagaimana cap tersebut. Hal ini bahkan sangat mungkin diperparah jika si Ibu sering membicarakan kenakalan anaknya tersebut kepada orang lain, seperti Nenek, Guru sementara ketika berbicara anaknya tersebut ada atau mengetahuinya.

Ada suatu contoh yang sangat tepat dalam acara Nanny 911. Dalam salah satu tayangannya, si Ibu bersikap ambivalen terhadap anak-anaknya. Anak keduanya keluar dari kamar tidurnya pada waktu ia seharusnya tidur dan meminta mainannya, padahal aturannya tidak boleh ada mainan di kamar ketika anak tidur. Tetapi anak kedua tersebut meminta dengan cara yang sangat persuasif bagi Ibu, ia tidak tega, dan membiarkan anak keduanya mendorong peti mainannya ke dalam kamar. Dalam kamera tersembunyi, terlihat anak pertama mengintip dan mengetahui bahwa adiknya dibolehkan oleh si Ibu memasukkan mainan ke kamarnya, padahal masalah inilah yang di ributkan pada awal acara sehingga anak-anak selalu tidur larut malam. Anak pertama ini terlihat runtuh kepercayaan dirinya, ia merasa diperlakukan tidak sama. Ia bahkan merasa Ibunya lebih sayang pada adiknya. Dan ketika ia ngambek, ibunya menghukumnya dengan mengambil sisa-sisa barang di kamarnya yang masih bisa dianggap mainan. Ini tidak disadari oleh si Ibu dan juga bahkan oleh sang anak, karena ia tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia tentu merasa ada yang salah dalam perilaku Ibunya terhadapnya.

Keesokan harinya seperti biasa, ketika si Ibu sedang bercengkrama dengan adik-adiknya, ia mencoba bergabung, mencoba perhatian dari Ibunya. Tetapi mungkin karena masih merasa kurang puas atas sikap anaknya semalam terhadapnya (yang ngambek), si Ibu merasa bahwa anak pertamanya mencoba mengigit adiknya. Hal ini karena si Ibu telah memiliki persepsi yang negatif terhadap anak tertuanya. Iapun menghukum anaknya tersebut untuk berdiri di sudut ruangan dan mereka melanjutkan cengkrama tanpa anak tertuanya.

Sebagai penonton, tentu merasa sedih, kasihan melihat anak pertama tersebut menangis, dihukum berdiri, sementara si Ibu dan Adik-adiknya melanjutkan canda mereka. Tetapi si Ibu di ruangan tersebut tidak merasakan hal yang sama dengan penonton. Ia sedikitpun tidak mengetahui bahwa tindakannya sangat berpengaruh terhadap kejiwaan anaknya. Kecuali setelah sang Nanny memberitahukannya.

Nanny sang psikiater, mencoba menggali apakah anak tersebut mengetahui bahwa ia diperlakukan tidak adil. Tetapi sebenarnya si anak tidak terlalu mengerti apa yang terjadi, ia hanya merasakan. Jika sikap tersebut didiamkan Anak itu akan menjadi pribadi yang pendiam, terlalu introvert, mudah emosi/marah, nakal dan susah diatur. Hal yang benar-benar terjadi seperti apa yang dikatakan sang Ibu terhadap anaknya tersebut.

Hal yang berbeda sering terjadi pasa sang ayah. Ayah biasanya lebih didengar oleh anak-anaknya. Hal ini biasanya karena ayah biasanya lebih konsisten. Ayah jarang bersikap ambivalen. Anak-anak juga menyadari bahwa biasanya Ayah bersikap tegas (walaupun penyayang). Sehingga anak-anak memahami bahwa jika Ayah sudah mengatakan sesuatu ia serius pada hal tersebut (yang sangat jarang bisa Ibu lakukan).

Ayah biasanya juga sosok yang jarang marah. Tetapi jika sudah marah, maka semua anak-anaknya akan diam, mungkin juga takut, sehingga selalu menuruti apa yang dikatakan ayahnya. Demikian sebaliknya Ibu, seringsekali marah, sehingga anak-anak menjadi terbiasa dan menganggap enteng marah Ibu dan tidak tertarik mendengarkan kemarahannya.

Jika Ibu pribadi yang di cintai, karena ia lebih dekat dengan anak-anak. Maka ayah adalah figur yang diteladani, anak-anak hormat padanya. Anak-anak merasakan kewibawaannya, bahkan kadang juga secara berlebihan sehingga cenderung takut padanya.

Dari hal-hal yang saya utarakan diatas ada beberapa hal penting yang mungkin harus kita camkan ketika kita berperilaku terhadap anak-anak kita.
1. Hindari sejauh mungkin perilaku mencap anak-anak kita, dengan cap-cap yang negatif. Cap tersebut hanya akan membuat anak kita berfikir seperti halnya yang kita katakan. Apalagi jika kita mengutarakan kenakalan anak kita pada orang lain dihadapan anak kita. Ini sangat bermasalah.
2. Ucapkanlah sesuatu yang baik pada anak-anak kita, sehingga mereka merasakan citra positif bagi diri mereka sendiri.
3. Tidak ada anak-anak yang nakal, sebenarnya yang terjadi adalah orang tua yang mulai tidak sabar. Anak-anak memang demikianlah adanya, dari dulu hingga kini, mereka memang seperti itu, orang tualah yang mulai merasa terganggu dan jadi tidak sabaran.
4. Sikap ambivalen atau pilih kasih kita terhadap anak-anak dapat berakibat fatal. Dalam banyak kasus sikap seperti ini tidak disadari oleh para orangtua. Mereka melakukannya secara perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit. Mereka mulai menganak tirikan anak-anak kandungnya sendiri dari hal-hal terkecil lalu mulai meningkat seiring berjalan waktu. Lalu setelah terlambat, kita sebagai orangtua tidak dapat lagi memperbaiki hubungan kita yang sudah hambar pada anak-anak kita. Anak kita akan menderita seumur hidupnya, bahkan tanpa mereka menyadarinya. Emosinya menjadi labil, kepercayaan dirinya runtuh, dan ia hidup tidak bahagia. Karena itu wahai para orangtua, perhatikanalah cara anda berperilaku pada anak-anak anda.
5. Cara terbaik bersikap terhadap anak yang benar-benar nakal adalah dengan kasih-sayang.Tidak mengungkit-ungkit kesalahannya yang telah lalu. Mengkoreksinya tetapi tidak mempermalukannya. Sedini mungkin menanamkan tanggungjawab padanya. Jika kita terpaksa harus menghukumnya, maka hukumlah anak dengan hukuman yang dapat membuatnya mengambil pelajaran dari kesalahannya. Dan janganlupa akan kehangatan setelah hukuman tersebut. Terakhir mohonlah agar Allah menjadikannya generasi qurrata ‘a yun. Generasi penyejuk hati.

Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. Siapa yang menghendaki, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya. (HR Thabrani)

Rasulullah mengatakan :
Allah merahmati seeseorang yang membantu anaknya berbakti kepada-Nya. Sahabatpun bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab, “Dia menerima yang sedikit darinya, memafkan yang menyulitkannya, dan tidak membebaninya, tidak pula memakinya.”

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Az Zumar : 53)

Jakarta, 23 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Edited by : Abasir abasyir.blogspot.com